Jumat, 21 Februari 2014

PRAWIRA SOKONG "SOKONG KEMBANG DANGAR"



GUBUK PRAWIRA

Adalah sebuah kampung tradisional yang berasal dari suatu kerajaan. Pada masa lalu, ada sebuah kerajaan yang berdiri dipulau Lombok tepatnya sekarang dilombok Utara adalah kerajaan SOKONG. Pada masa kejayaan kerajaan Sokong cikal bakalnya ada di Desa Bebekek (Kecamatan Bayan).
Kerajaan sokong ini dibagi menjadi dua bagian yang menjadi pemisahnya adalah kali sokong. Dari timur kali sokong sampai ke Desa Bebekek adalah “Sokong Belimbing”, sedangkan dari barat kali sokong sampai daerah Mambalan (kecamatan Gunung sari) adalah Sokong “Kembang Dangar”.
Mengapa dinamakan Gubuk Prawira? Karena nama Prawira hampir mirip dengan kata Perwira, sehingga jika dikaitkan pada jaman kerajaan Sokong, Gubuk Prawira ini ditempati oleh para petinggi-petinggi militer atau para perwira-perwira kerajaan, dan disamping itu juga menurut pitutur orang tua, bahwa Prawira ditempati sebagai sebuah kepatihan sehingga sangat jelas di namakan Prawira.
Pemegang Gubuk ini dilakukan secara turun temurun seperti halnya kerajaan-kerajaan di Nusantara. Gubuk ini dipegang oleh keluarga Raden Ratnanim/Raden Jaya (Alm), kemudian turun kepada anak laki-lakinya yaitu Raden. H. Mekartha Jaya.
Digubuk Prawira terdapat beberapa tempat yang bersejarah dan mempuyai pilosofi yang tinggi, antara lain:
1.      Berugaq (Bale-bale)
Di Gubuk Prawira sendiri terdapat tiga deretan berugaq yang mempunyai fungsi masing-masing. Berugaq yang paling atas yang disebut berugaq “Kekelat” yang fungsinya sebagai Central dari upacara-upacara besar misalnya seribu hari kematian atau acara adat perkawinan dan kemudian di berugaq itu diadakan “Pepaosan” (pembacaan naskah kuno).
Kemudian dideretan yang letaknya ditengah adalah berugaq “Peroahan”,dimana berugaq ini berfungsi sebagai tempat zikiran atau doa-doa, dan deretan yang paling bawah adalah berugaq “Periapan” berfungsi sebagai tempat makan-makan. Sampai saat sekarang ini berugaq masih digunakan dan berfungsi sebagaimana biasanya.

2.      Bale Beleq/Gede (Rumah besar)
“Bale” artinya rumah, sedangkan “Gede” artinya Besar, namun disini dikatan Gede bukan rumahnya yang besar, rumah ini berukuran kecil berkisar antara 3x5m, yang dikatan besar disini adalah fungsinya yaitu tempat penyimpanan barang-barang peninggalan sejarah. Di dalamnya terdapat beberapa peninggalan sejarah yaitu:
·         Lontar-lontar atau naskah kuno tulisan jawa kuno.
·         Sehelai rambut yang sangat panjang.
·         Potongan baju perang yang terbuat dari besi baja
·         Bebadong-bebadong yaitu sebuah benda yang diyakini dapat memberikan kekuatan ketika akan diadakannya peperangan pada masa tersebut. Bebadong ini berbentuk sabuk yang diikatkan pada pinggang manakala terjadi peperangan.
·         Al-Qur’an, yang menandakan bahwamasyarakat Gubuk Prawira sudah menganut agama ilam pada masa tersebut. Al-Qur’an disini tulisan tangan asli, dan ada juga untuk pembacaan Khutbah Jumaat.
·         Kain –kain raja pada jaman dahulu
·         Batu permata
·         Biloq buntu atau dalam bahasa indonesianya dalah bambu buntu yang tidak mempunyai lubang.

3.      Bangaran
Mungkin diantara kita tidak terlalu mengetahui apa sebenarnya bangaran, tetapi bagi suku Sasak terutama warga Gubuk Prawira sering mengartikan bangran adalah salah satu tempat yang dianggap memiliki kekuatan gaib (supranatural). Bagaimana tidak? Karena di Gubuk Prawira terdapat sebuah batu besar yang terletak di tengah dan dikelilingi oleh batu yang setengah besar. Bangaran berasal dari kata “membangar” yang artinya memulai pembukaan lahan. Jadi, setiap membuka lahan, baik lahan permukiman maupun lahan pertanian selalu diadakannya ritual membangar.
Mengapa di buat bangaran? Ada semacam keyakinan bahwa manusia tidak hidup sendiri, melainkan banyak mahkluk-mahkluk lain yang hidup seperti jin dan bangsa lainnya. Untuk tidak berkeliarannya mahkluk tersebut dan akan mengganggu anak-anak kecil, maka oleh para pemangku yang dinamakan “mangku perumbaq” yang secara khusus bertugas untuk memelihara bangaran, di tempat diadakannya ritual pada bulan-bulan tertentu. Jadi, semua mahkluk samar (tidak kasat mata), terutama yang jahat kepada manusia dikumpulkan di bangaran untuk tidak berkeliaran mengganggu manusia, sehingga pada bulan-bulan tertentu diadakannya ritual yang disebut dengan “memule”.

4.      Kul-ku (kentongan)
Ialah sepotong kayu yang dilubangi kemudian digantungkan pada sebuah pohon. Kul-kul tersebut berfungsi untuk mengingatkan akan bahaya-bahaya yang akan terjadi atau yag sedang terjadi. Fungsi lainnya adalah untuk mengingatkan kepada masyarakat untuk melakukan suatu kegiatan tertentu.
Konon, ku-kul ini pada masa lalu kalau akan terjadi bahaya yang menimpa masyarakat, maka kul-kul tersebut akan berbunyi sendiri tanpa ada yang memukulnya. Hanya saja, mereka yang tinggal di kampung tersebut tidak mendengar suara kul-kul tersebut, dan anehnya yang mendengar suara tersebut adalah orang yang tinggal di luar Gubuk Prawira.

5.      Bale Banjar
Bale banjar ini dinamakan “bale banjar sekar kedaton prawira”, berbentuk aula sederhana yang berfungsi untuk tempat pertemuan, rapat dan melakukan kegiatan-kegiatan tertentu seperti, latihan menari dan lain sebagainya.

Kemudia di Gubuk Prawira juga memiliki permainan tradisional yang masih bertahan sampai saaat ini yaitu permaianan “Gangsing”, permaianan ini banyak ada di desa-desa tetangga namun pada era ini jarang ada yang mau memainkannya.

6.      Gangsing
Adalah sebuah permaianan yang terbuat dari kayu (hati kayu), bagian kayu yang paling dalam  yang keras dan padat atau sering disebut dengan (Galih). Permainan rakyat yang biasanya dipertandingkan antarkampung yang di komandoi seorang juri (wasit).
Ramainya permainan Gangsing yaitu pada saat warga masyarakat mulai menanam padi (melong) atau sering disebut lowong. Permainan tersebut terus berlangsung sampai saat padi menguning. Mengapa demikian? Permaianan Gangsing mengandung sebuah do’a yaitu di sana ada harapan bahwa dengan bermain gangsing diharapkan kelak padi tersebut akan tumbuh subur dan berbuah lebat, padat dan kental seperti Gangsing.

7.      Masjid (Setumpuk Kembang Dangar)
Jika kita melihat tulisan diatas, nama masjid ini diadopsi dari nama kerajaan Sokong yaitu Sokong Kembang Dangar. Sesungguhnya dulu masjid ini terbuat dari batu yang disusun dengan menggunakan tanah mentah yang sangat tinggi dan beberapa meter yang tingginya dari tanah, sehingga untuk menaiki masjid tersebut dibutuhkan sebua tangga.
Uniknya, tiang masjid tersebut hanya bertiang satu yang berada di tengah-tengah yang dibuat dari kayu “Gringsingan”. Masjid tersebut bentuknya bersusun tiga, dan didalamnya terdapat mimbar yang berbentuk sebuah naga yang umurnya sudah ratusan tahun. Naga tersebut adalah simbol dari langit angkasa, dan dibawah naga tersebut ada patung penyu (kura-kura) yang bersimbolkan dari pada bumi yang kita pijak. Kedua bentuk patung tersebut meyimpulkan bahwa langit dan bumi hanya milik Allah SWT.
Kemudian ada sebuah jungkat (tongkat) yang fungsinya dipegang oleh Khatib ketika sedang membaca Khutbah. Masjid ini mempunya julukan yang sering dilantunkan oleh masyarakat yaitu dalam bahasa Sasaknya adalah “Kelikit Lima Ilang Sopoq, Masjid Prawira Tiang Sopoq”, yang artinya “Lalat lima hilang satu, masjid Prawira tiang satu”. Istilah itulah yang membuat masjid Prawira terkenal sampai saat sekarang ini dengan masih mempertahankan tiang penyangganya yang hanya tunggal yang berdiri ditengah-tengah bangunan masjid tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar